Entri Populer

Jumat, 18 Februari 2011

Ya'ahowu!


Ya'ahowu!
Teks Nurhalim Tanjung
Foto Bobby W. Wennars


“Jangan sekarang ke Nias, nanti saja pas pertengahan tahun,” saran seorang guide wisata. Mengapa? Saat pertengahan tahun ternyata Nias adalah surga bagi para peselancar karena ombak di laut Sorake cukup menantang. Namun Nias bukan hanya magnet bagi peselancar, soalnya pulau ini juga memiliki beragam daya tarik wisata, mulai peninggalan sejarah, budaya, dan alam natural sehingga tetap memikat di musim apapun.

MOBIL meninggalkan Gunungsitoli sejak pagi-pagi sekali. Kami menuju Teluk Dalam di Nias Selatan setelah puas sehari penuh mengeksplorasi daerah-daerah unik di pinggiran Gunungsitoli, seperti gua purba Togindrawa di Desa Lelewonu-Niko’otano dan desa adat Tumori. Sayang, kedua tempat ini mulai jarang disinggahi para traveler. “Dulu setiap minggu ada saja turis asing datang kemari,” kata Ina Melki, warga Desa Tumori, “tapi sekarang mereka lebih senang ke selatan karena katanya di sana lebih bagus.” Ya, sejak dari Medan kami juga sudah mendengar kalau Nias Selatan memiliki alam dan peninggalan sejarah yang sangat potensial.

Mobil terus melaju. Sopir mulai memperlambat kecepatan saat tiba di persimpangan tiga setelah 80 kilometer meninggalkan Gunungsitoli. Marka jalan menunjukkan 30 kilometer ke kiri adalah Teluk Dalam, sedangkan ke kanan menuju Gomo, yaitu kecamatan yang memiliki banyak lokasi megalitikum dan menhir berusia ribuan tahun di Nias Selatan. Kami disambut salam khas Nias yang tertulis di tugu pertigaan jalan ini: Ya’ahowu!

Ali Akbar Harahap, sopir mobil yang kami charter, tak perlu berpikir lama untuk memutar stir ke kiri. Mobil meneruskan perjalanan melintasi jalanan beraspal yang masih memperlihatkan bekas-bekas patahan akibat gempa 28 Maret 2005 lalu serta beberapa badan jalan yang anjlok di berbagai lokasi. Kondisi jalan ini sudah terasa sejak kami meninggalkan Gunungsitoli, bahkan beberapa jembatan masih belum rampung dari perbaikan meskipun tetap bisa dilalui oleh kendaraan dengan penuh kehati-hatian. Nias memang sedang terus berbenah setelah luluh-lantak akibat gempa dahsyat lalu.

Kami terus menyusuri jalan sepanjang 30 kilometer di wilayah kecamatan Lahusa untuk menuju Teluk Dalam. Saat di Gunungsitoli memang kami sudah sepakat ingin ke Teluk Dalam sebagai gerbang untuk mengeksplorasi Nias Selatan, termasuk Lagundri dan Sorake. Konon, kedua kawasan pantai di Nias Selatan ini memiliki ombak terbaik kedua setelah Hawai di Amerika Serikat. Banyak peselancar asing tergila-gila berselancar di sini, termasuk Kelly Slater dari California, Amerika Serikat. Selain itu Teluk Dalam juga merupakan pintu masuk ke desa-desa tua di pulau ini, seperti Bawomatoluo, Hilinawalu Mazingo, dan Hilinawalu Fao. Desa-desa ini memiliki tradisi lompat batu, disamping menyimpan keunikan omo sebua atau rumah adat peninggalan raja-raja Nias (simak: Omo Niha, Rumah Gempa ala Nias).

Genasi Hill dan Hilisataro
Pantai Tropis di Lahusa
Namun kami tak perlu menunggu sampai di Lagundri dan Sorake untuk menikmati panorama laut. Soalnya di sepanjang Lahusa saja pun kami sudah disergap pemandangan pantai yang menawan. Badan jalan di sini bersisian dengan laut. Panoramanya terasa spektakuler saat mencapai Genasi Hill, yaitu 15 kilometer lagi menjelang Teluk Dalam. Posisi perbukitan ini menawarkan landscape laut yang luas hingga ke kaki langit nun di cakrawala. Para pengendara sering bersantai sejenak sambil menikmati secangkir teh atau kopi dari restauran yang ada di sini—bagi orang Medan mungkin hanya semacam warung atau kedai.

Apakah Genasi Hill adalah klimaks panorama pantai di Lahusa? Semula kami hampir mengira begitu. Alasannya, saat mobil mengikuti badan jalan yang menurun barisan pohon kelapa di bagian kiri jalan menutupi pantai, sedangkan di kanan pohon-pohon pisang yang diselingi kebun coklat memanjang di kaki-kaki tebing nan menjulang. Ini adalah suasana khas pulau tropis, sebagaimana Bali, Tanjung Bunga-Malaysia, dan Thailand Selatan. Suasana itu terasa hingga beberapa ratus meter, setelah itu panorama laut kembali menyeruak di hadapan kami ketika mobil memasuki kawasan Hilisataro. Pantainya berpasir landai walaupun sebagian memperlihatkan dataran karang muncul ke permukaan air laut. Tetapi ombak laut di sini terhitung lumayan baik untuk surfing.

Solistis PO Dachi, kepala Dinas Pariwisata dan Kebudayaan Nias Selatan, saat kami sambangi mengakui instansinya memproyeksikan pantai Hilisataro untuk menjadi lokasi surfing di masa depan. “Ombaknya memang tidak sebagus Sorake, tetapi Hilisataro sangat cocok untuk para peselancar pemula,” ungkapnya, “setelah mahir di sini baru mereka dapat berselancar ke Sorake.” Dachi mengemukakan pihaknya juga merencanakan kelak kawasan pantai Hilisataro bakal menjadi pusat pelatihan selancar internasional.

Tentu saja untuk merealisasikan rencana itu tidak gampang. Banyak sarana dan prasarana yang mesti disiapkan Nias Selatan, mulai dari akses jalan yang lancar, sarana angkutan mudah, fasilitas hotel dan restauran yang standar, iklim pariwisata kondusif, kawasan surf shop sebagai pusat perbelanjaan peralatan selancar, dan sebagainya. “Surf shop saja tak ada di sini, padahal pantai untuk lokasi surfing cukup banyak,” kata Tangkius Wau, seorang peselancar lokal di Sorake. Sebaliknya, dia menambahkan, di Medan malah banyak terdapat surf shop sekalipun tak ada tempat untuk surfing.

Surga Wisata yang Masih ‘Mati’
Problema pariwisata itu sebenarnya bukan hanya milik Nias Selatan melainkan masalah seluruh kawasan Nias, mulai dari sebelah utara hingga ke selatan, apalagi di pulau-pulau kecil sekitarnya. Ini membuat Nias terasa ‘mati’ kala daerah wisata lain mengalami peak season, seperti saat libur Tahun Baru, Lebaran, dan musim liburan sekolah. “Saat Parapat dan Berastagi kebanjiran turis kala peak season, pariwisata Nias malah ‘mati’ karena tak ada turis berkunjung,” kata Agus Mendrofa, seorang pengusaha hotel. Bahkan orang Nias sendiri pergi mengisi libur mereka ke luar pulau ini.

Begitupun potensi alam dan peninggalan sejarah yang luarbiasa membuat orang tetap membicarakan Nias sebagai surga wisata. “Senarnya banyak orang sudah mengetahui potensi Nias sebagai surga wisata, termasuk para pemancing ikan. Mereka ingin berkunjung tapi belum berani datang,” ungkap Mendrofa lagi. Kenapa?

Menurutnya, semua itu akibat masih sedikit sekali informasi tentang Nias, selain persoalan fasilitas. “Banyak orang hanya mendengar bahwa transportasi masih sulit, fasilitas minim, dan cerita-cerita jelek lainnya tentang Nias.” Sebenarnya, dia menambahkan, sudah ada empat hingga lima kali penerbangan dari Medan ke pulau di sebelah barat daratan Sumatera ini, dimana setiap penerbangan hanya memakan waktu tempuh satu jam saja. Demikian pula angkutan laut dengan kapal cepat (jet foil) dari Sibolga hanya membutuhkan waktu tiga jam untuk mencapai Gunungsitoli sebagai gerbang utama mengeksplorasi Nias.

“Mereka pasti semakin berminat datang jika mengetahui di Nias juga ada hotel, swalayan, rumah makan padang, dan sebagainya,” tambah Mendrofa lagi, “memang tidak selengkap dan sebagus di Medan.” Dia meyakini para penggila traveling sedang menunggu informasi lengkap mengenai kondisi dan fasilitas yang tersedia di Nias untuk mendukung kegiatan wisata mereka di pulau surga ini.

***
Seluruh Nias—mulai dari Gunungsitoli hingga Teluk Dalam—kini memang sedang terus berbenah dibantu Badan Rekonstruksi dan Rehabilitasi (BRR) serta berbagai NGO (non-government organization) asing. Kegiatan ini mulai membangkitkan Nias dari kehancuran akibat gempa dahsyat dua tahun lalu. Pulau andalan Sumatera ini terasa lebih ramai kini.

Kampung Turis Lagundri-Sorake
Kami merasakan suasana ramai itu saat melintasi pekan di setiap desa hingga kota kecamatan sepanjang perjalanan bermobil. Keramaian semakin terasa saat memasuki Teluk Dalam. Mobil terus meluncur sejauh 17 kilometer ke Sorake. Saat melintasi Lagundri, desa pantai sebelum Sorake, tampak beberapa turis asing berseliweran di pinggir jalan. Mereka menginap di guest house yang banyak terdapat di sini, selain memanfaatkan satu hotel berkelas bintang tiga yang terletak di ujung Sorake . Di Sorake para turis serta aktivis NGO asing menenteng papan selancar ke pantai. Mereka bercampur dengan peselancar lokal, sementara di tengah laut beberapa peselancar meluncur di atas ombak setinggi dua-empat feet. Nias sudah mulai menggeliat kembali.

Solistis Dachi mengemukakan, pasca gempa—selama periode Januari-Mei 206—tercatat 134 turis dari Eropa, Australia, Amerika, Jepang dan negara lainnya mengunjungi Nias Selatan. “Ini pertanda baik sebab setahun setelah gempa kunjungan turis terus menurun,” katanya. Dia mengungkapkan turis asing pernah mencapai lebih 2000 orang bertandang ke pulau ini.

“Mudah-mudahan turis asing yang datang kemari akan terus meningkat,” tambah Dachi. Caranya, dia mengatakan, dengan berusaha menggandeng investor untuk memperbaiki dan menambah fasilitas wisata, selain terus mempromosikan potensi pariwisata Nias Selatan di berbagai event eksibisi tingkat provinsi, nasional maupun mancanegara. “Saat ini kami juga sedang melobi pengusaha transportasi agar mengoperasikan dua jet-foil (kapal cepat) untuk menghubungkan Sibolga-Teluk Dalam dan Teluk Dalam-Pulau Telo,” jelasnya. Jet-foil akan membuat waktu tempuh Sibolga-Teluk Dalam lebih singkat menjadi tiga jam dari 10 jam selama ini, sedangkan Teluk Dalam-Pulau Telo yang semula tiga jam menjadi setengah jam saja. Pulau Telo di Pulau-pulau Batu, ungkap Dachi, “merupakan lokasi wisata bahari yang sangat menarik.”

Nias memang interesting island. Kami sering turun dari mobil untuk menyusuri jalan berbatu, perbukitan, menyeberangi sungai, bahkan melintasi jalan setapak yang licin di tengah hutan demi mencapai lokasi memikat di pelosok pulau. Lompat batu di Bawomatoluo, pasir putih Pantai Moa’le, dan the ancient site Tondrubano di Nias Selatan adalah sebagian dari traveling kami, begitu pula gua purba Togindrawa dan desa adat Tumori di Nias Induk Excited! Pantas lah pulau eksotis ini terus menggeliat untuk bangkit kembali. Setiap orang yang berpapasan dengan kami pun memperlihatkan semangat itu: Ya’ahowu!


Memburu Sunset ke Moa’le

BOSAN di Sorake, kami menempuh jarak 50 kilometer ke Moa’le. Satu-dua jembatan di sepanjang jalan masih menggunakan batang pohon kelapa, belum lagi aspal yang berlubang dan retak di sana-sini. Sopir mesti ekstra hati-hati.

“Moa’le sangat indah kala senja,” kata Harefa, penduduk setempat. Kalimat ‘undangan’ ini lah yang membuat kami tak menggubris kondisi jalan dan jembatan yang riskan. Buktinya, Moa’le memang memikat. Pantainya berpasir landai dan sangat luas, cocok untuk turis yang gemar berjemur di bawah matahari. Sayang, tak seorang pun turis tampak di sini menjelang week-end dua pekan lalu. Moa’le sangat sepi, namun debur ombak membuat pantai ini masih terasa ramai. Lagi pula para nelayan selalu melabuhkan perahu di sini sepulang melaut di pagi hari.

Sore itu para nelayan sedang bersiap-siap untuk melaut kembali. Mereka mesti menempuh ombak yang menghempas pantai, lalu berlayar melintasi dua pulau karang kecil yang saling berhadapan di laut Moa’le. Kami mengamati mereka, sementara langit mulai merah di-ambang senja. Matahari perlahan-lahan tenggelam ditelan laut yang terus berombak. Langit semakin merah, membuat panorama sunset di Moa’le benar-benar indah memikat. Kami tak rugi memburunya dari Sorake.--nt
Nurhalim Tanjung0 comments

Gomo: the Ancient Site Region



DARIMANA asal nama Gomo? Pastor Johannes, seorang peneliti Nias, mengemukakan dulu ada dua orang China, masing-masing bermarga Go (Gho) dan Motse terdampar ke Pulau Nias. Kala tiba di pertengahan pulau lalu mereka menggabungkan awalan marga mereka untuk menamakan daerah itu sehingga melekat nama go-mo (sekarang Gomo).

Peristiwa itu sudah lama sekali, tetapi agaknya sebelum mereka datang sudah ada peradaban di Nias. Soalnya, Gomo dianggap sebagai daerah asal muasal seluruh orang Nias.

Gomo berada 80 kilometer dari Gunungsitoli, sedangkan dari Teluk Dalam berjarak 30 kilometer. Kecamatan ini terkenal sebagai lokasi the ancient site region. Berbagai situs kuno berpencar di beberapa lokasi megalitikum dan menhir berusia ribuan tahun di sini. Misalnya, di dusun Tundrumbano, Lahusa Satua, Tetegowo, dan Tuhegewo. Masing-masing situs berjarak dua-tiga kilometer satu dengan lainnya.Selain itu, masih ada lagi Boronadu, yaitu situs paling kuno di lokasi sejauh 8 kilometer dari pusat Kecamatan Gomo. Sedangkan untuk mencapai pusat kecamatan ini mesti menempuh perjalanan bukit-bukit berbatu dengan sepedamotor sejauh 17 kilometer dari jalan lintas Nias.

Boronadu berada jauh di perbukitan terpencil. Lokasinya dipercaya sebagai tempat orang Nias pertama diturunkan dari langit, kemudian turun lagi ke daerah-daerah lain di sekitar Gomo, dan terus menyebar ke seluruh Pulau Nias. Siapapun tak sanggup mencapai Boronadu dengan sepedamotor, apalagi bermobil karena jalannya berbukit-bukit tanpa aspal. Orang mesti berjalan kaki sejauh 5-6 kilometer lagi untuk mencapainya. Ada apa di Boronadu? “Batu megalitikum dan menhir sudah tak banyak lagi, sudah berhilangan, tetapi ada satu pohon besar yang diyakini dapat menentukan nasib orang Nias di sana,” kata Atoli Telaumbanua, salah seorang kepala desa di Gomo.

Siang mulai redup. Kami kuatir waktu tidak cukup untuk ke Boronadu, akhirnya diputuskan untuk mengunjungi situs megalitikum dan menhir di Dusun Tundrumbano di Desa Lahusa Idano Tae. Lokasinya berada di atas bukit sekira 2-3 kilometer lagi dari pusat kecamatan Gomo, tetapi sepedamotor harus ikut menyeberangi sungai, kemudian menyusuri perbukitan plus jalan kaki sejauh satu kilometer. Setengah jam setelah itu, kami pun sudah berada di pintu masuk situs megalitikum dan menhir berukuran lebih 3000 meter persegi. Batu-batu purba berbentuk tiang, meja, tempat duduk, bak untuk mencuci pedang, serta patung-patung harimau terhampar di sana. “Situs ini berumur 800 tahun, tetapi para antropolog yang pernah meneliti kemari mengatakan usianya 3000 tahun,” kata Atoli Telaumbanua lagi. Batu-batu di situs ini berdenting seperti besi saat diketuk, tidak seperti batu biasanya.

Lokasi situs itu dibangun oleh raja Tambalingautu Telaumbanua. “Saya adalah generasi ke-14 dari Tambalingautu,” ungkap Atoli. Ada lima tiang batu bersegi di lokasi ini, dua-tiga tiang diantaranya sudah miring ke tanah. Tiang batu ini disebut behu. Semua tiang behu ini memiliki lubang sebesar kepala manusia di puncaknya. “Lima tiang batu ini menandakan Tondrumbano pernah memiliki lima raja, dan setiap raja yang meninggal maka kepalanya diletakkan di lubang behu ini,” jelas Atoli lagi. Kini kepala para raja Tundrumbano itu tentu sudah tak lagi ada di puncak behu tersebut.

Banyak peneliti pernah datang kemari, malah situs inipun pernah dipugar tetapi Tondrumbano tetap diselimuti tetumbuhan belukar seperti tak terawat. Beberapa megalit dan menhir pun sudah hilang dari sini. Kenapa hilang? “Kami juga tidak tahu, tapi pasti ada yang mengambilnya,” kata Atoli Telaumbanua. Namun dua hari sebelumnya, Solistis Dachi, kepala Dinas Pariwisata dan Kebudayaan, saat bertemu kami di Teluk Dalam berjanji segera memugar situs megalitikum dan menhir di Gomo dalam tahun ini untuk mencegah kerusakan dan kehilangan. “Kami sudah menyiapkan anggaran Rp3 miliar untuk memugar situs-situs di sana, termasuk dua situs megalitikum dan menhir lagi [di kecamatan Lolowau],” katanya waktu itu.

Hari semakin sore, kami pun meninggalkan Tondrumbano menuju pusat kecamatan Gomo, lalu melintasi jalan berbatu sejauh 17 kilometer lagi ke jalan lintas Nias. Setibanya di sana, mobil—yang sudah menunggu kami sejak pagi hari—pun kembali membelah jalan menuju Gunungsitoli. Satu surga lagi sudah kami rasakan di Nias…wisata penuh adventure!--nt
Nurhalim Tanjung0 comments


Sauhagolo..!


Tips ke Nias
  • Carilah informasi dari berbagai sumber tentang tujuan anda di Nias. Jika mendapatkan informasi dari satu sumber belum tentu cukup, cari second information, third information dst. Lalu tetapkan perjalanan anda...and go head!

  • Beberapa pesawat terbang—Merpati, Susi Air, SMAC—telah membuka rute ke Gunungsitoli dan P. Telo setiap hari dari Medan, ada juga perjalanan laut dengan speed boat dan feri dari Sibolga ke Gunungsitoli. Silakan anda putuskan angkutan perjalanan anda, sesuaikan dengan waktu dan finansial.

  • Siapkan diri—mental dan fisik—bahwa anda akan melakukan perjalanan adventure. Fasilitas wisata masih minim di Nias tetapi itu malah membuat perjalanan anda jadi cukup menantang.

  • Pikirkan untuk meminta bantuan guide lokal karena dia bisa menjadi penerjemah anda berkomunikasi dengan masyarakat pedalaman, selain memandu perjalanan anda.
    Selalu siapkan snack dan minuman ringan saat memasuki lokasi yang mempunyai tingkat kesulitan tak dapat anda perkirakan untuk mencegah anda dari terlambat makan.

  • Orang Nias umumnya cukup ramah, jadi setiap bertemu penduduk lokal sapa atau jawab sapaan mereka dengan “ya’ahowu” dan setelah menerima bantuan ucapkan “sauhagolo.”nt

Omo Niha, Rumah Gempa ala Nias
Teks Nurhalim Tanjung
Foto Bobby W. Wennars



Omo niha tidak rubuh saat gempa besar menghempaskan Nias dua tahun lalu. Rumah tradisional terbuat dari kayu tanpa paku ini hanya bergeser sedikit, padahal usianya sudah mencapai ratusan tahun. Anehnya, rumah-rumah batu bersemen dengan rancangan masa kini malah banyak yang hancur.



RUMAH-rumah kayu beratap oval masih berdiri kokoh di desa tradisional Tumori, Gunungsitoli. Beberapa rumah sudah menggunakan pernis serta bercat masa kini meskipun bentuk aslinya tidak berubah, kecuali pintu masuk yang dialihkan dari samping melalui tangga kayu. “Aslinya, pintu masuk omo niha dari bawah kolong, tapi sekarang hampir semua dari samping supaya tamu mudah untuk masuk ke dalam,” kata Ya’aro Zebua, 72 tahun.

Ya’aro Zebua adalah arsitek atau tukang yang memiliki keahlian membangun rumah adat Nias (omo niha) di Desa Tumori. Dia mendapatkan keahlian itu secara turun-temurun. “Desa ini sudah berusia lebih 200 tahun,” katanya, “semua rumah di sini dibangun oleh kakek dan orangtua saya.”

Omo niha asli tidak menggunakan paku, melainkan pena dan pasak kayu, sebagaimana rumah knock down atau bongkar pasang. Bahan kayu yang digunakan merupakan pilihan, diperoleh dari hutan-hutan di Nias. “Sekarang susah mencari kayu-kayu pilihan untuk membangun rumah adat, sudah habis dari hutan,” ungkap Zebua. Syukurlah, rumbia untuk atap rumah masih dapat dibuat dari nyiur sehingga bumbungannya tetap tampak unik. Bumbungan kelihatan jadi semakin unik dengan adanya satu hingga dua tuwu zago, yaitu jendela di bagian atap sebagai ventilasi dan sumber cahaya bagi rumah. Tuwu zago ini terdapat di atap bagian depan dan belakang bumbungan.

Tiang Kayu dan Simbol Omo Niha
Setiap omo niha memiliki enam tiang utama yang menyangga seluruh bangunan. Empat tiang tampak di ruang tengah rumah, sedang dua tiang lagi tertutup oleh papan dinding kamar utama. Dua tiang di tengah rumah itu disebut simalambuo berupa kayu bulat yang menjulang dari dasar hingga ke puncak rumah. Dua tiang lagi adalah manaba berasal dari pohon berkayu keras dipahat empatsegi, demikian pula dua tiang yang berada di dalam kamar utama. Setiap tiang mempunyai lebar dan panjang tertentu satu dengan lainnya. “Semakin lebar jarak antara tiang simalambuo dengan tiang manaba maka semakin berpengaruhlah si pemilik rumah,” ungkap Ya’aro Zebua lagi.

Rumah-rumah adat di Nias juga tidak memiliki jendela. Sekelilingnya hanya diberi teralis kayu tanpa dinding sehingga setiap orang di luar rumah dapat mengetahui siapa yang berada di dalamnya. Menurut Zebua, desain ini menandakan orang Nias bersikap terbuka, jadi siapapun di desa dapat mengetahui acara-acara di dalam rumah, terutama yang berkaitan dengan adat dan masalah masyarakat setempat. Biasanya pemilik rumah bersama ketua adat duduk di bangku memanjang di atas lantai yang lebih tinggi—disebut sanuhe—sambil bersandar ke kayu-kayu teralis, sedangkan yang lainnya duduk di lantai lebih rendah atau disebut sanari. Setiap acara adat akan berlangsung di dalam rumah, terlebih dulu seisi kampung diundang dengan membunyikan faritia (gong) yang tergantung di tengah rumah. Faritia di rumah adat Nias Selatan dilengkapi oleh fondrahi, yaitu tambur besar sebagaimana terlihat di omo sebua—rumah besar untuk raja dan bangsawan—di Desa Bawomatoluo, Teluk Dalam.

Segi artistik juga menjadi perhatian dalam pembangunan omo niha. Banyak kayu-kayu berukir menghias interior dan eksterior rumah. Ini menandakan orang Nias mempunyai rasa seni tinggi.

Kayu Elastis Menahan Gempa
Mengapa omo niha tak rubuh saat gempa? Ya’aro Zebua mengatakan kayu-kayu yang digunakan untuk rumah mereka bersifat elastis. " Jadi saat gempa rumah pun 'main' [ikut bergerak] sesuai guncangan bumi.” Tetapi, diakuinya, gerakan-gerakan itu telah membuat posisi tiang-tiang rumah bergeser sehingga tampak miring. Selain itu, dia mengungkapkan, umumnya atap di puncak bumbungan mengalami kerusakan walaupun tak begitu berarti.

Rumah-rumah di Nias bagian utara, seperti Desa Tumori, umumnya disangga oleh balok-balok kayu berbentuk letter X yang disebut diwa. Diwa menahan lantai rumah di bagian kolong, selain ada pula siloto yang berupa kayu panjang yang menempel di bagian bawah papan lantai rumah tersebut. Siloto langsung menahan lantai rumah, dan merupakan bagian kayu yang paling elastis. Ada juga gohomo, yaitu kayu-kayu yang tegak lurus menopang dan memagari seluruh kolong rumah sehingga omo niha semakin kokoh sekaligus elastis. Gohomo berada di bagian terluar pada kolong rumah, sedangkan siloto dan diwa berada di bagian dalamnya.

Rumah Empatsegi dan Lettter V di Bawomatoluo
Kalau balok penyangga omo niha di kawasan Nias utara berbentuk letter X, maka di Nias Selatan berbentuk letter V. Bentuk itu tampak di rumah-rumah desa tradisional, seperti Bawomatoluo, Hilinawalu Mazingo, Hilinawalu Fao dan sebagainya. Rumah adat di sini pun tidak oval, melainkan berbentuk empatsegi mulai dari atap hingga keseluruhan bagian bangunan.

Bawomatoluo adalah desa tradisional berusia ratusan tahun. Desa ini paling lengkap menyimpan ornamen tradisional Nias Selatan, berada sekitar 8 kilometer dari Teluk Dalam. Setiap orang yang ingin memasuki desa mesti menaiki 91 anak tangga terbuat dari batu hasil pahatan para ahli Bawomatoluo.

Ada satu rumah paling besar di sini, yaitu omo sebua sebagai tempat bermukim raja atau kepala suku. Di halaman sebelah kiri rumah tersusun batu empatsegi setinggi dua meter dengan pijakan sekira 45 centimeter di bawahnya. Batu ini menjadi tempat para prajurit Bawomatoluo untuk memperlihatkan kemampuan lompat mereka—kini merupakan ikon pariwisata Nias: lompat batu. Lalu persis di halaman depan rumah terdapat batu-batu besar yang terpahat rapi untuk duduk raja beserta tetua adat atau tamu-tamu desa.

Selain di Bawomatoluo, setiap desa tradisional di Nias Selatan juga memiliki omo sebua. Namun, kini atap omo niha di desa-desa itu, termasuk Bawomatoluo, rata-rata sudah tidak asli lagi dari rumbia. Semua diganti dengan seng. Demikian pula atap omo sebua sudah menggunakan seng. Perubahahan ini, menurut Pikiran Nehe dari Dinas Pariwisata dan Kebudayaan, terjadi setelah dilakukan pemugaran. Soalnya, katanya, rumbia untuk atap omo niha mulai jarang diproduksi di Nias, padahal kebutuhannya sangat besar. Misalnya, omo sebua saja membutuhkan sekitar dua ribu lembar atap rumbia, belum lagi rumah-rumah lainnya. Namun, tambahnya, perubahan atap dengan seng tidak mengubah desain asli omo sebua. “Selain Bawomatoluo, ada dua desa lagi memiliki omo sebua yang tetap akan dipertahankan, yaitu di Desa Hilinawalu Mazingo dan Hilinawalu Fao,” ungkap Nehe. Ini untuk menjaga dan melestarikan kekayaan budaya Nias Selatan.

Ciri asli juga masih tampak dari pintu masuk omo sebua di Bawomatoluo. Setiap orang mesti masuk melalui pintu dari bagian bawah kolong rumah. Interior rumah pun masih terjaga, dimana dapur terdapat di ruangan tengah dan satu lagi di bagian belakang. “Posisi dapur di ruangan tengah menandakan bahwa omo sebua adalah milik semua rakyat desa ini,” kata Pikiran Nehe.

Ornamen Nias di Omo Sebua
Ornamen-ornamen yang melambangkan kekayaan budaya terpasang di dinding omo sebua, seperti tambur besar fondrahi, rangkaian puluhan tengkorak babi, peralatan perang khas Nias, dan aneka hiasan lainnya. Bangunan omo sebua yang lebih besar, berlantai tinggi, dan berada di tengah desa, membuat raja atau kepala suku dapat mengamati seluruh desa tanpa keluar dari rumah. Tetapi kalau dia ingin mengumpulkan rakyatnya maka cukup dengan memukul fondrahi.

Hikayat Mana’o, seniman yang bermukim di Bawomatoluo, mengemukakan banyak orang sudah mengunjungi omo sebua pada desa-desa tradisional di Nias dan Nias Selatan. Namun, menurutnya, setelah mengunjungi Bawomatoluo mereka mendapatkan ternyata omo sebua di sini paling unik menggambarkan kekayaan budaya Nias. “Ornamen omo sebua dan seluruh desa Bawomatoluo dianggap paling lengkap serta menarik,” katanya. Salah satu ornamen itu terlihat pada seni pahat batu yang juga unik di desa ini, mulai dari tangga masuk, lompat batu hingga aneka perkakas bebatuan di halaman omo sebua.

Dulu, menurut Mana’o, untuk membangun omo sebua saja ada tujuh tahap yang mesti dilampaui oleh leluhur mereka, mulai dari pembangunan fondasi hingga ke atap. “Setiap tahap biasanya diselesaikan dengan mengadakan upacara yang mengorbankan puluhan ekor babi,” ungkapnya. Maka sampai tahap terakhir ada ratusan ekor hewan itu dikorbankan untuk membangun satu omo sebua. “Semua tengkorak kepala babi itu dipajangkan di bagian dalam rumah untuk menunjukkan kebesaran omo sebua,” jelas Mana’o.

Saat ini balok-balok berletter V berukuran besar yang menyangga omo sebua mulai terlihat lapuk. Namun rumah yang kini dihuni oleh generasi kelima raja Bawomatoluo masih kokoh berdiri, padahal bangunan utamanya sejak dari fondasi, lantai dan rangka rumah hingga dinding-dinding sama sekali tak menggunakan paku. “Omo niha—termasuk omo sebua—memang merupakan bangunan knock down, tanpa paku,” kata Solistis Dachi, kepala Dinas Pariwisata dan Kebudayaan Nias Selatan. Ini membuatnya menjadi unik dan tahan dari guncangan gempa. Saking uniknya, dia mengatakan, ratusan tahun lalu penjajah Belanda pernah membawa satu omo sebua ke negerinya beserta satu keluarga orang Nias yang ahli untuk merancang bangunnya kembali di sana. “Sampai kini omo sebua itu masih ada di Kopenhagen, Denmark,” ungkapnya.
Nurhalim Tanjung0 comments
Dari Omo Gomo ke Bawomatoluo


ALAN M. Viaro, profesor arsitektur dari Swiss, beberapa kali mengadakan penelitian tentang arsitektur rumah orang Nias (omo niha). Dia menemukan ada empat tipe rumah Nias, yaitu:

  1. Omo Gomo: rumah adat di sini berbentuk empat segi dan cukup rustikal, sebagaimana terdapat di Kecamatan Lahusa, Gomo dan Lolowau.

  1. Omo Idano Gawo dan Omo Idano Mola: Bentuknya juga segi empat dan bergaya rustikal pula.

  1. Omo Laraga: Rumah ini terdapat di Desa Laraga, sekitar 9 kilometer di sebelah selatan Gunung Sitoli [termasuk Desa Tumori]. Bentuknya bulat telur atau oval. Tipe rumah ini tersebar di Nias Utara, mencakup Kecamatan Gunungsitoli, Gido, Tuhemberua, Mandrehe dan Sirombu.

  1. Omo Nias Selatan: Berbentuk empat segi dan masih banyak ditemukan di desa-desa Kecamatan Teluk Dalam. Ada empat rumah besar (omo sebua) milik para raja dan bangsawan yang menonjol di sini, seperti di Desa Bawomatoluo, Onohondro, Hilinawalu Fau, dan Hilinawalu Mazingo. Dulu hampir setiap desa di Nias Selatan mempunyai satu omo sebua, tetapi sekarang sudah banyak yang punah. Omo sebua di Bawomatoluo memiliki ornamen paling lengkap dan unik.
Pastor Johannes—yang mengutip Alain M. Viaro—dalam buku Omo Sebua menyimpulkan tipe dasar untuk rumah orang Nias mungkin diciptakan di wilayah Gomo. Daerah ini memang dikenal sebagai asal muasal orang Nias (simak: Ya’ahowu! dan Gomo: the Ancient Site Region), karena itu bentuk rumahnya pun masih primitif.--nt
Nurhalim Tanjung0 comments
Sufing di Kala Full Moon: More Fun!
Oleh Nurhalim Tanjung


Surfing adalah olahraga adrenalin dan ketangkasan menguasai ombak. Banyak daerah pantai cocok untuk berselancar (surfing), salah satunya adalah Sorake di Nias Selatan, Sumatera Utara. Ombak di sini selalu mengundang orang untuk menaklukannya.


“HELLO Jhonny.”
“Hello, are you enough?”
“More than enough..!”

Percakapan itu sering terdengar di antara para peselancar saat menepi ke pantai Sorake. Mereka senantiasa mengungkapkan kalimat puas seusai berselancar sebab Nias—khususnya Sorake—masuk dalam daftar pemilik sepuluh ombak terbaik dunia. Karena itu para peselancar kelas dunia, seperti Kelly Slater tak luput ikut menyambanginya di kala musim ombak tiba.

Ombak semakin bagus di laut Sorake ketika memasuki bulan Maret dan terus bertahan hingga September. Bahkan sepanjang Juni-Agustus adalah puncak musim ombak, dimana ketinggiannya bisa mencapai 12 feet. “Kalau sudah setinggi itu, jarang ada yang berani surfing di sini,” kata Tangkius Wau, seorang peselancar lokal. Di saat itu ombak bukan hanya tinggi melainkan juga sering datang bergulung-gulung. Bila peselancar tidak mahir bukan tidak mungkin ombak menghempaskannya ke karang di dasar laut. Namun, Tangkius menambahkan, justru di saat itu Sorake semakin ramai dikunjungi oleh peselancar nasional maupun luar negeri. Apalagi event selancar sering pula digelar selama musim ombak itu seperti akan dilaksanakan Agustus-September nanti setelah absen selama dua tahun akibat gempa dan tsunami, sebagaimana informasi dari Dinas Pariwisata dan Kebudayaan Nias Selatan kepada aplaus..

Tangkius Wau, 16 tahun, sudah menekuni selancar selama sepuluh tahun. Rumahnya persis berada di bibir pantai Sorake sehingga selancar menjadi olahraga yang familiar baginya, soalnya sejak kanak-kanak dia sudah terpikat menyaksikan orang-orang meluncur di atas ombak. Demikian pula teman-temannya yang kini sering berselancar dengannya, seperti Dicki Dachi dan Rizal Wau. Mereka—serta para peselancar asing— sering tampak duduk di atas papan selancar di tengah laut seolah menantang ombak, lalu mengayuh cepat ke arah pantai untuk mengambil posisi berselancar ketika ombak datang mengejar. More fun, asyik sekali! Kadang mereka pun dapat berselancar di bawah gulungan ombak, kemudian meluncur keluar dari lorong gelombang yang terbuka.

Ombak Kanan di Sorake, Ombak Kiri di Kuta
Tangkius pernah mengukir prestasi menduduki peringkat pertama dalam King of Groom: Nias Open, yaitu kompetisi selancar berskala nasional di Sorake. Lalu dia mengukuhkan prestasi lagi dalam event selancar King of Groom di Kuta, Bali, pada September tahun lalu dengan meraih predikat pemenang ketiga. Mengapa juara tiga? “Semua yang ikut event di sana berselancar lebih bagus,” katanya.

Namun, menurut Dicki Dachi, rekannya sesama peselancar, ombak Sorake berbeda dengan ombak Kuta. “Kami berselancar di atas ombak kanan di sini, sedangkan Kuta terkenal dengan ombak kiri,” ungkapnya. Ombak di Sorake memang selalu bergelombang ke arah kanan menuju pantai, sedangkan ombak kiri berarti gelombang laut yang mengarah ke sebelah kiri.

Perbedaan itu, kata Dicki, merupakan salah satu faktor yang menyulitkan Tangkius saat berselancar di Kuta. Tangkius sendiri mengakui bahwa ia terbiasa dengan ombak kanan di Sorake. “Tapi ombak di Kuta tidak melulu ke kiri, kadang-kadang ada juga ombak kanan,” ungkapnya.

Gaya dan Papan Selancar
Begitupun Tangkius tetap diuntungkan oleh kondisi ombak Sorake yang terhitung masih lebih baik dibandingkan ombak Kuta. Cobra wave atau ombak yang menyerupai kepala ular Cobra kerap terlihat di sini, bahkan sering datang saling menyusul. Ini membuat para peselancar Nias lebih mampu mengembangkan gaya berselancar, seperti three sixty, yaitu berputar 360 derajat di udara dengan memanfaatkan tenaga ombak “Peselancar yang baik mesti terus memperkaya gerakan dan gaya berselancar supaya tidak monoton,” kata Tangkius.

Rizal Wau, rekannya yang lain, mengemukakan setiap gerakan dan gaya dalam selancar juga memiliki berbagai variasi. Misalnya, three sixty dapat dilakukan dengan memutar ke kiri tapi bisa pula dari kanan. “Tapi gaya ini tidak mudah, mesti sering latihan,” jelasnya. Selain itu kekuatan ombak dan papan selancar yang digunakan sangat menentukan keberhasilan seorang peselancar untuk mengembangkan gaya dan gerakan berselancar.

Ada tiga ukuran papan selancar, yaitu small (S), medium (M), dan large (L). Masing-masing papan itu juga punya berbagai ukuran lagi. Peselancar pemula lebih baik menggunakan papan ukuran L, sedangkan bagi yang sudah mahir biasanya menggunakan papan ukuran S dan M. “Papan ukuran L lebih cocok untuk pemula karena lebih besar dan lebih panjang,” ungkap Rizal. Tangkius setuju dengan ungkapan rekannya itu. Tetapi, menurutnya, jika sudah mahir boleh menggunakan papan yang lebih kecil—ukuran M atau S—supaya lebih mudah mengembangkan gaya dan gerakan berselancar.

Selancar ketika Full Moon
Kapan waktu berselancar yang tepat? Tangkius mengatakan setiap ombak cukup bagus maka kapan pun orang dapat berselancar. Namun, katanya, bagi pemula lebih baik berselancar kala ombak setinggi 1-3 feet, sedangkan untuk peselancar mahir biasanya menggunakan ombak setinggi 6-12 feet. “Saya sendiri berselancar selama satu-dua jam setiap sore hari, kecuali hari Minggu, ” katanya. Hari Minggu dia selalu berselancar pagi hari di atas ombak setinggi 3-6 feet, lalu dilanjutkan lagi pada sore hari.

Selain pagi dan sore, kata Tangkius, malam hari merupakan saat yang lebih menyenangkan untuk berselancar di Sorake, khususnya ketika langit penuh bintang kala bulan purnama. “Berselancar saat full moon betul-betul more fun,” ungkap Tangkius, “saya sering melakukannya.” Ups, ternyata malam hari lebih menggairahkan untuk berselancar di atas ombak Sorake, bahkan lebih dari sekadar more than enough.--nt


Tips Surfing
  • Anda mesti mahir berenang terlebih dulu agar dapat berselancar di laut terbuka
  • Jangan pernah lupa mengikatkan tali papan selancar ke pergelangan tangan atau kaki anda.
  • Jangan melawan ombak jika anda tak ingin menggunakannya untuk berselancar, tetapi menyelam-lah menjelang ombak datang supaya anda tidak terseret atau terhempas ke air.
  • Gunakan papan selancar berukuran L bila anda pemula, tetapi jika sudah mahir silakan menggunakan ukuran M atau S untuk melatih gaya dan gerakan berselancar.
  • Jangan menggunakan papan selancar yang pernah patah—perhatikan kalau-kalau ada bekas sambungan jika anda menggunakan papan selancar dari rental.
  • Kualitas berselancar tergantung variasi gerakan dan gaya di atas papan selancar, anda dapat mengembangkannya supaya tidak monoton. Jadi, berselancarlah terus!
Nurhalim Tanjung0 comments
History in Hurry


MENGAPA orang mesti menulis? Pramoedya Ananta Toer memberikan alasan tajam untuk pertanyaan itu. Begini, katanya, “Orang boleh pandai setinggi langit, tapi selama ia tidak menulis, ia akan hilang…dari sejarah. Menulis adalah bekerja untuk keabadian.” Apa iya?

Mungkin ya, setidaknya begitulah menurut Pram. Tetapi buat praktisi jurnalisme tentu menulis saja tidak cukup, dia juga harus meliput lalu menyiarkan hasil liputannya, apakah melalui media cetak, media elektronik atau media online. Media-media itu selalu berlomba dengan waktu untuk menyiarkan tulisan atau gambar bernilai berita. Ini membuat laporan wartawan menjadi “history in hurry” atau sejarah yang ditulis dengan terburu-buru. Pasti ada celah atau kekurangannya.

Seorang profesor asing pernah kegirangan kala meneliti media massa Indonesia yang terbit lebih 35 tahun lalu. Girang karena berhasil mendapatkan berbagai kliping berita yang ingin ditelitinya di masa itu. “Saya senang berbagai peristiwa yang menjadi sejarah terekam dalam berita suratkabar di sini,” katanya. Sampai di sini Pramoedya Ananta Toer memang benar. Namun profesor asing itu ternyata juga jengkel sebab banyak spelling tidak akurat, penggunaan kata tidak tepat, serta penulisan akronim tanpa menguraikan kepanjangannya. Apalagi ada pula akronim yang diambil dari nama suatu lembaga yang kini sudah tidak ada lagi, kontan saja dia uring-uringan karena kehilangan satu mata rantai sejarah. Maklum di negeri ini nama departemen, instansi, lembaga pemerintah dsb. sering gonta-ganti, lalu raib selamanya.

Saya mendapatkan cerita itu dari Atmakusumah Astraatmadja, tokoh pers negeri ini, semasa belajar jurnalistik di Jakarta. “Kesalahan dalam penulisan sedapat mungkin mesti dihindari, soalnya tulisan kita mungkin saja masih diperlukan orang sepuluh, duapuluh, bahkan seratus tahun lagi,” katanya. Dia ingin menegaskan bahwa tulisan adalah rekaman sejarah jadi semestinya press claar atau bersih dari berbagai kesalahan, baik kesalahan bahasa maupun penggambaran fakta, yang bisa mengaburkan alur peristiwa. “Tulisan di media pers jangan membuat orang menjadi bingung,” tegas Atmakusumah.

Saya setuju, meskipun tetap sadar bahwa “berita pers adalah sejarah yang ditulis dalam keterburu-buruan.” Konon pula jika berita itu ditulis untuk televisi, radio, media online, bahkan suratkabar harian, tentu saat menuliskannya lebih terburu-buru lagi sebab tekanan deadline terus menghimpit. Ini sering membuat artikel pers menjadi bias—kadang-kadang juga tidak akurat. Seorang peneliti media pernah menemukan ternyata “berita bias dan tidak akurat adalah sesuatu yang sering terjadi dalam media pers.” Saking seringnya, dia berbicara dengan nada pasrah campur jengkel, menjadi suatu kesalahan yang lumrah, meskipun membingungkan. Aneh, kan? Padahal tulisan yang berhasil mesti mampu memberikan gambaran akurat di kepala orang yang membaca atau mendengarkannya.

Tiga-empat tahun lalu saya pernah mendengar pujian dari Hishamuddin Aun, petinggi pers di Malaysia saat berkunjung ke kantornya di Kualalumpur. Dia bangga media pers di Indonesia cukup berani menulis dan menyiarkan dengan kritis, termasuk berita tentang berbagai peristiwa sensitif di negeri jiran itu. “Indonesia lebih bebas, jadi banyak berita bagus bisa kami kutip untuk diberitakan kembali di sini,” ungkapnya. Namun, dia mengemukakan, sering pula mengalami kesulitan menemukan makna peristiwa yang diberitakan pers Indonesia karena terlalu kerap menggunakan singkatan [baca: akronim]. Misalnya, mereka pernah menemukan akronim “Anantakupa” di headline suratkabar mainstream negeri ini. “Kami cari-cari artinya di kamus Indonesia, tak ada. Bahkan di kamus Melayu juga tidak ada,” ungkapnya. Memang, akhirnya mereka menemukan padanannya yang ternyata adalah “api nan tak kunjung padam.” Tetapi, kata Hishamuddin Aun, “payah la…kami dibuatnya.”

Media di Malaysia memang tidak sembarangan boleh membuat akronim. Ada aturannya sehingga sajian media di negeri ini lebih tertata. Indonesia? “Semua boleh disingkat, tak macam kami di sini hanya nama pertubuhan (baca:lembaga) yang boleh disingkatkan,” kata Hishamuddin Aun lagi.

Memang, melalui media berbagai peristiwa—yang kemudian menjadi sejarah—bisa cepat diterima oleh publik. Media bekerja untuk keabadian, namun sejarah yang direkamnya tidak boleh kabur. Soalnya, pencapaian pekerjaan menulis plus menyiarkan—seperti kata Pramoedya—adalah untuk mengabadikan bukan membuat orang menjadi bingung. Karena itu, produk history in hurry sekalipun semestinya tetap press claar. Kalau tidak, seringkali tulisan-tulisan itu malah mengaburkan peristiwa, bahkan menghilangkan sejarah itu sendiri.--nt



Tidak ada komentar:

Posting Komentar