Entri Populer

Sabtu, 19 Februari 2011

Jepang Dukung Situs Bawomataluo Jadi Nominasi Warisan Dunia


Jepang Dukung Situs Bawomataluo Jadi Nominasi Warisan Dunia
Thursday, September 30, 2010
By susuwongi
POZNAN, POLANDIA – Pemerintah Jepang menyatakan minatnya untuk mendukung peninggalan budaya Nias dan Tana Toraja menjadi nominasi warisan dunia (world heritage). Hal itu terungkap dalam pertemuan para Menteri Kebudayaan Asia dan Eropa pada Asia-Europa Culture Minister Meeting (ASEM) ke-4 pada 9-10 September 2010 di Poznan, Polandia. Pertemuan itu dihadiri oleh delegasi 40 negara di Asia dan Eropa.
“Jepang akan ikut dalam upaya konservasi di Tana Toraja, khususnya terkait dengan rumah adat di daerah itu. Pemerintah Jepang juga menyatakan minatnya dalam konservasi rumah adat di Nias, Sumatera Utara,” ujar Hubertur Sadirin, salah satu anggota delegasi Indonesia dalam pertemuan dengan delegasi pemerintah Jepang di Poznan, Sabtu, (11/9).
Seperti dikutip dari Kompas.com, delegasi Indonesia, selain Sadirin, adalah staf ahli Menteri Kebudayaan dan Pariwisata Hari Untoro Dradjat, Direktur Peninggalan Purbakala Junus Satrio Atmodjo. Sedangkan delegasi Jepang diwakili, di antaranya, oleh Seiichi Kondo dan Koji Kitayama dari Departemen Hubungan Kebudayaan Pemerintah Jepang.
Sadirin menambahkan, dukungan Jepang tersebut sangat dibutuhkan mengingat Negara itu memiliki banyak ahli dan data yang kuat terkait konservasi. Dukungan pemerintah Jepang itu, kata dia, merupakan bagian dari kerjasama proyek konservasi antara Jepang dan Indonesia yang telah dimulai pada 1998. Selain kedua daerah itu, kerjasama konservasi juga di antaranya dalam konservasi istana tua Sumbawa di Nusa Tenggara Barat yang telah dimulai pada 2006.

Bawömataluo Site
Seperti diketahui, pada 6 Oktober 2009, Unesco telah menominasikan rumah adat di Desa Bawömataluo (Bawömataluo Site) dalam daftar tentatif (tentative list) untuk dicalonkan sebagai warisan dunia. Rumah adat yang kini berlokasi di Kecamatan Fanayama tersebut merupakan salah satu dari 27 situs di Indonesia yang telah diajukan sejak 1995.
Salah satu ikon budaya Kabupaten Nias Selatan itu, masuk tentative list pada 2009 bersama empat situs budaya lainnya. Yaitu, situs candi Muara Takus (Jambi), situs candi Muarajambi, situs gua prasejarah di Maros (Pangkep), rumah ada tradisional Tana Toraja dan situs Trowulan, bekas ibukota kerajaan Majapahit. (Etis Nehe, dari berbagai sumber)

Daftar Nominasi Warisan Dunia dari Indonesia
1. Banda Islands (07/02/2005)
2. Banten Ancient City (19/10/1995)
3. Bawomataluo Site (06/10/2009)
4. Belgica Fort (19/10/1995)
5. Besakih (19/10/1995)
6. Betung Kerihun National Park (Transborder Rainforest Heritage of Borneo) (02/02/2004)
7. Bunaken National Park (07/02/2005)
8. Cultural Landscape of Bali Province (18/01/2007)
9. Derawan Islands (07/02/2005)
10. Elephant Cave (19/10/1995)
11. Great Mosque of Demak (19/10/1995)
12. Gunongan Historical Park (19/10/1995)
13. Muara Takus Compound Site (06/10/2009)
14. Muarajambi Temple Compound (06/10/2009)
15. Ngada traditional house and megalithic complex (19/10/1995)
16. Penataran Hindu Temple Complex (19/10/1995)
17. Prehistoric Cave Sites in Maros-Pangkep (06/10/2009)
18. Pulau Penyengat Palace Complex (19/10/1995)
19. Raja Ampat Islands (07/02/2005)
20. Ratu Boko Temple Complex (19/10/1995)
21. Sukuh Hindu Temple (19/10/1995)
22. Taka Bonerate National Park (07/02/2005)
23. Tana Toraja Traditional Settlement (06/10/2009)
24. Trowulan – Former Capital City of Majapahit Kingdom (06/10/2009)
25. Wakatobi National Park (07/02/2005)
26. Waruga Burial Complex (19/10/1995)
27. Yogyakarta Palace Complex (19/10/1995)

Sistem Adat Perkawinan Nias: Salah Satu Penyebab Kemiskinan Masyarakat Nias?

Monday, April 23, 2007
By nias
Oleh Postinus Gulö
Pengantar
Böwö adalah sebutan mahar dalam sistem adat perkawinan di Nias. Tetapi Böwö ini telah melahirkan problem baru yang tidak selalu disadari oleh masyarakat Nias sendiri. Keganjilan penerapan Böwö ini juga dirasakan oleh mereka yang pernah tinggal (berkunjung) di Pulau Nias. Dan tidak heran jika kebanyakan orang dari luar Nias yang pernah ke Pulau Nias selalu memiliki kesan: mahar, jujuran (böwö, gogoila) perkawinan Nias mahal! Oleh karenanya ketika mereka mau (baca: akan) menikah dengan gadis Nias ada semacam ketakutan, keengganan, keragu-raguan. Dan, tentu hal ini adalah kesan buruk! Ada apa dengan sistem adat perkawinan Nias? Yang salah “sistemnya” atau “masyarakat Niasnya”?
Arti Böwö
Etimologi böwö adalah hadiah, pemberian yang cuma-cuma. Sama halnya kalau kita memiliki hajatan, entah karena ada tamu atau ada pesta keluarga, dsb., lalu kita beri fegero kepada tetangga kita (makanan, baik nasi maupun lauk-pauk yang kita makan saat hajatan itu kita beri juga kepada tetangga kita secara cuma-cuma). Ini adalah aktualisasi kepekaan untuk selalu memperhitungkan orang lain di sekitar kita, juga untuk mempererat persaudaraan. Oleh karenanya tak heran jika masyarakat Nias menyebut orang yang ringan tangan sebagai niha soböwö sibai. Jadi, arti sejati böwö mengandung dimensi aktualisasi kasih sayang orangtua kepada anaknya: bukti perhatian orangtua kepada anaknya!
Lantas kenapa böwö itu kayak dikomersialkan? Indikasi pengomersialan böwö sebenarnya gampang kita lihat. Misalnya, istilah böwö bergeser menjadi gogoila (goi-goila: ketentuan). Malah kata gogoila yang lebih familiar dikalangan tokoh adat Nias saat ini. Untuk mencapai “ketentuan” tentu ditempuh cara “musyawarah”(yang dimediasi oleh siso bahuhuo) dan sepengetahuan saya, dalam musyawah itu terjadi “tawar-menawar” berapa gogoila yang harus dibayar oleh pihak mempelai laki-laki. Jadi, böwö semakin direduksi maknanya: lebih dekat pada konotasi ekonomis (ibarat aktivitas jual-beli) dan bukan pada konotasi budaya. Dan saya percaya, jika pernyataan ini kita lemparkan ke orangtua kita atau ke “orang zaman dahulu”, pasti salah satu jawabannya adalah: da’ana hada Nono Niha (ini adalah adat Nias). Pernyataan semacam itu tentu mengokohkan dimensi statis budaya Nias juga mereduksi nilai-nilai sakral budaya Nias! Padahal seharusnya, budaya itu dinamis sesuai perkembangan zaman. Bahkan dalam pernyataan itu seolah adat yang terpenting dan bukan manusianya. Saudaraku, adat dibuat untuk manusia dan bukan manusia untuk adat. Ariflah menerapkan adat yang tidak membangun. Dulu böwö itu masih masuk akal. Mengapa? Karena sistem perekonomian Nias masih barter. Artinya böwö dihitung berdasarkan jumlah babi dan bukan uang. Sekarang kalau böwö itu di-uangkan, maka akan menjadi beban kehidupan berlapis generasi, karena babi tidak murah (misalnya, seekor babi yang diameternya 8 alisi harganya bisa mencapai Rp 900. 000 – Rp 1 Juta).
Nah, kalau dalam gogoila (böwö) terdapat 25 ekor babi, coba Anda bayangkan berapa juta. Belum lagi beras, dan emas (balaki, firö famokai danga, misalnya). Padahal mencari uang di Nias sangat susah. Mata pencaharian mayoritas masyarakat Nias adalah bersawah/berladang dan menyadap karet (dari pohon havea). Seperti kita tahu bahwa sawah di Nias tidak seperti Di Pulau Jawa yang sawahnya dikelola dengan baik: ada irigasi, lengkap pestisida pembasmi hama padi. Setahu saya, rata-rata sawah di Nias tidak ada irigasi yang dibangun oleh pemerintah atau yang dibangun oleh swasta. Pengairan sawah di Nias cuma mengandalkan hujan! Sedangkan menyadap karet, juga ada masalah. Karet bisa diharapkan menjadi duit jika tidak ada hujan. Coba kita bayangkan jika musim hujan, mau makan apa masyarakat Nias? Singkatnya, mengumpulkan dan mencari uang di Nias yang puluhan juta, bisa bertahun-tahun.
Kebiasaan masyarakat Nias jika pesta perkawinan banyak sekali yang harus di-folaya (dihormati dengan cara memberi babi). Selain itu, babi pun banyak yang harus disembelih dengan berbagai macam fungsional adatnya, misalnya: tiga ekor bawi wangowalu (babi pernikahan), seekor babi khusus untuk fabanuasa (babi yang disembelih untuk dibagikan ke warga kampung dari pihak mempelai perempuan) , seekor untuk kaum ibu-ibu (ö ndra’alawe) yang memberikan nasehat kepada kedua mempelai, seekor untuk solu’i (yang menghantar mempelai wanita ke rumah mempelai laki-laki), dan masih banyak lagi babi-babi yang disembelih.
Selain yang disembelih, ada juga babi yang dipergunakan untuk “famolaya sitenga bö’ö“. Di sini saya sebut beberapa saja: sekurang-kurangnya seekor untuk “nga’ötö nuwu” (paman dari ibu mempelai perempuan), sekurang-kurangnya seekor sampai tiga ekor untuk “uwu” (paman mempelai perempuan), seekor untuk talifusö sia’a (anak sulung dari keluarga mempelai perempuan), seekor untuk “sirege” (saudara dari orangtua mempelai perempuan), seekor untuk “mbolo’mbolo” (masyakat kampung dari pihak mempelai perempuan, biasanya babi ini di-uang-kan dan uang itu dibagikan kepada masyarakat kampung), seekor untuk ono siakhi (saudara bungsu mempelai perempuan), seekor untuk balö ndela yang diberikan kepada siso bahuhuo, dsb (dan jika pas hari “H” perkawinan, ibu atau ayah atau paman, atau sirege dari pihak saudara perempuan menghadiri pesta perkawinan, maka mereka-mereka ini juga harus difolaya, biasanya seekor hingga tiga ekor babi). Dan masih ada pernik lain, yakni fame’e balaki atau ana’a (ritual memberi berlian atau emas), berupa famokai danga kepada nenek dan ibu mempelai perempuan; juga fame’e laeduru ana’a khö ni’owalu (pemberian cincin kepada mempelai perempuan, cincin itu diharuskan emas). Singkatnya, jika adat itu diterapkan pada zaman sekarang, maka Anda harus menyediakan uang puluhan hingga ratusan juta rupiah hanya untuk membeli babi dan emas belum lagi biaya pas hari “H” perkawiannya. Kalau kita melihat uraian di atas, böwö itu dibagi-bagi. Dan, kadangkala dalam pembagian semacam ini muncul berbagai macam perseteruan, permasalahan.
Akibat Böwö yang Mahal
a. Akibat Negatif
Ada berbagai macam problem sosial dan juga ekonomi yang disebabkan oleh mahalnya böwö di Nias. Di bawah ini saya akan menguraikan beberapa argumen berdasarkan fakta yang memang saya dengar dan alami (terutama di Kecamatan Mandrehe).
Pertama, akibat negatif dari böwö yang mahal adalah kemiskinan dan pemiskinan. Alasannya boleh dilihat dalam uraian akibat negatif berikutnya.
Kedua, akibat mahalnya böwö, orangtua si anak bukan lagi bekerja untuk memenuhi kebutuhan keluarga dan anaknya, tapi mereka bekerja untuk membayar utangnya, membayar böwö yang dibebankan kepadanya. Bahkan utang böwö yang belum sempat terbayarkan oleh orangtua si anak mesti si anak harus bersedia membayarnya. Mahalnya böwö semakin diperparah sejak masyarakat Nias mengenal uang, karena böwö juga diuangkan. Mempelai laki-laki yang tidak mampu mencukupi nilai böwö yang harus ia bayar, tidak ada pilihan lain baginya selain meminjam. Anda tahu yang namanya pinjaman pasti ada bunganya perbulan. Dan, lingkaran semacam inilah yang menyebabkan banyak keluarga Nias hanya bekerja untuk membayar bunga utangnya.
Ketiga, mungkin kita pernah mendengar cerita Nono Niha yang berani melakukan pembunuhan hanya karena tidak dibayarkan kepadanya böwö yang sudah dijanjikan. Ini adalah akibat sosial yang sangat fatal dari böwö yang mahal. Hanya demi seekor babi atau berapalah itu, ia berani menghabiskan nyawa orang lain dan harus mendekam di penjara. Ini sungguh memilukan sekaligus memalukan.
Keempat, akibat keempat ini masih ada kaitannya dengan akibat kedua di atas tadi. Kerapkali mempelai laki-laki jika menikah, apalagi dari keluarga yang pas-pasan (tidak mampu), terpaksa menjual tanahnya, menjual sawah-ladangnya, bahkan bila kepepet ia juga meminjam sejumlah uang atau menyusun kongsi (kalau di Mandrehe, pas acara femanga ladegö, pihak dari mempelai laki-laki mengajak semua pihak untuk membantunya dan pada saat itu babi mesti disembelih sebagai tanda pemberitahuan kepada orang-orang yang akan menolongnya/yang mau memberikan kongsi). Jangan salah, jika meminjam uang, bunga bukan main bung. Dan, itu tradisi buruk Nias selama ini. Masyarakat Nias seolah melingkarkan tali di lehernya sendiri. Atau seperti seorang yang menggali lobang, ia sendiri yang jatuh ke dalamnya. Coba kita bayangkan, tanah habis dijual, masih ngutang lagi. Lalu di mana keluarga baru ini mengadu nasib, mencari nafkah sehari-hari? Mungkin ada yang masih rendah hati : menjadi kuli kepada orang lain. Dan, hal ini adalah «perbudakan» yang disengaja, yang kita buat sendiri walaupun sebenarnya bisa kita hilangkan, bisa kita atasi dengan tidak menerapkan sistem böwö yang mahal.
Kelima, jika orangtua masih berada dalam lingkaran «utang» sudah bisa dipastikan bahwa para orangtua tidak mungkin bisa menyekolahkan anaknya. Lantas kapan pola pikir Nias bisa ber-evolusi, berkembang, dinamis jika terjadi ke-vakum-an seperti ini, hanya karena böwö yang mahal itu. Melihat penerapan böwö yang tidak menguntungkan itu, sebaiknya para orangtua yang berasal dari Nias (apalagi mereka yang masih menerapkan böwö yang mahal) mesti menyadari apa tugas pokok jika sudah membentuk keluarga. Selain itu, mesti disadari: apa arti böwö yang sebenarnya. Saya rasa ada benarnya jika böwö adalah salah satu faktor utama kemiskinan di Nias secara turun-temurun. Boro-boro si orangtua menyekolahkan anaknya, utang böwönya saja belum lunas. Hal ini menjadi kendala bagi orang Nias sendiri untuk mencetak generasi penerus yang berpendidikan. Dan, jika demikian, jangan kaget jika berapa puluh tahun lagi Nias tidak akan mungkin membenahi kekurangan sumber daya manusianya.
Keenam, apakah Anda bahagia jika memiliki utang ? pasti tidak. Bagaimana suasana hati Anda jika memiliki utang? Pasti tidak tenteram, apalagi kalau setiap minggu, bulan ditagih. Ini suatu ancaman. Jika demikian, orang yang memiliki utang, juga pasti selalu tenggelam dalam kegelapan, bukan lagi kebahagiaan (tenga fa’owua-wua dödö ni rasoira ero ma’ökhö bahiza fa’ogömi-gömi dödö). Ketidak-tenteraman hati seperti ini bisa merembes ke sasaran lain: suami-istri sering bertengkar, suami menyalahkan istrinya yang memang pihak penuntut böwö; orangtua dan anak saling bertengkar, berkelahi; orangtua sering memarahi anaknya. Maka jangan heran jika banyak keluarga di Nias yang “makanan” sehari-harinya adalah “broken home”, perseteruan. Lalu kapan sebuah keluarga mempraktekkan cinta sebagai suami-istri, jika situasinya seperti ini? Marilah kita menjawabnya sendiri-sendiri!
Ketujuh, böwö identik dengan pemberian sejumlah harta benda, sejumlah uang, sejumlah babi yang harus ditanggung oleh pihak mempelai laki-laki. Nah, jika demikian, apa bedanya sistem böwö Nias ini dengan perdagangan perempuan dan perdagangan anak? Menurut saya, jika para orangtua memiliki motif bahwa böwö (gogoila) dijadikan sebagai modalnya, maka pada saat itu mereka termasuk dalam lingkaran perdagangan anak mereka sendiri. Dan hal ini bertentangan dengan hak azasi manusia! Tendensi perdagangan anak dalam system perkawinan Nias sebenarnya sudah mulai kelihatan. Misalnya, mempelai perempuan sering disebut sebagai böli gana’a (pengganti emas). Jadi seolah-olah perempuan itu sama dengan barang!
b. Akibat Positif
Pihak mempelai laki-laki, sebelum hari “H” perkawinan selalu mengumpulkan semua kerabatnya (seperti fadono, sirege, fabanuasa). Tentu dengan tujuan agar mereka-mereka ini bisa menolongnya, bahu-membahu menanggung böwö. Dari sisi ini ada juga beberapa hal positif.
Pertama, kekerabatan, fambambatösa, fasitenga bö’ösa semakin terjalin, semakin harmoni. Dan, menurut kepercayaan Nias, semua “fadono” yang taat kepada matua nia (mertua) akan diberkati (tefahowu’ö) dan mendapat rezeki.
Kedua, fadono selalu diingatkan akan kewajibannya. Hal ini bisa jadi menumbuhkan kesadaran akan “tanggung jawab” yang sejati dari para fadono. Dalam sistem adat perkawianan Nias, fasitengabö’ösa, fadonosa atau fambambatösa terjadi selama 3 generasi. Dalam sistem adat Nias (khususnya di Mandrehe) mempelai laki-laki memiliki kewajiban untuk selalau menjadi soko guru (tiang) bagi saudara mempelai perempuan (saudara dari istrinya yang dalam bahasa Nias disebut la’o). Misalnya, jika salah seorang saudara dari mempelai perempuan menikah, si mempelai laki-laki mesti membantunya. Di satu sisi ini baik. Tetapi di sisi lain, hal ini membebankan.
Ketiga, dengan böwö yang mahal, setahu saya para orangtua di Nias tidak mudah cerai (tetapi jangan-jangan karena orang Nias sendiri memang tidak biasa bercerai).
Melihat ambivalensi (negatif dan positif) böwö seperti yang terurai di atas, maka sebanarnya penerapan böwö yang mahal lebih banyak sisi buruknya, sisi negatifnya. Oleh karena itu, di bawah ini saya menguraikan bagaimana “problem solving”-nya.
Problem Solving
Pada bagian terakhir ini, saya juga mencoba mencari solusi yang perlu direfleksikan (baca: diinternalisasikan) oleh semua masyarakat Nias, niha khöda.
Tesis Pertama, lalu bagaimana adat ini, apakah harus tetap diterapkan? Kalau menurut saya secara ritual adat Nias tidak boleh ditinggalkan begitu saja, karena ini warisan berharga dari leluhur Nias. Ritual dalam arti: penghormatan kepada paman, kepada saudara, kepada ibu mertua, kepada nenek, kepada penatua adat, dst.. Jadi, dimensi kultik dan etis budaya Nias tidak boleh ditinggalkan begitu saja, malah seharusnya kita dilestarikan.
Namun yang perlu diperhatikan adalah bentuk penghormatan itu bukan dengan material, bukan dengan pemberian babi yang sekarang tergolong mahal di Nias (tetapi jika ada keluarga yang mampu dengan penghormatan secara material, silahkan saja yang penting jangan sampai pemberian itu adalah hasil pinjaman yang justru menjadi utang berlapis generasi). Bentuk penghormatan itu bisa melalui perhatian, menolong kerabat, mertua dikala mengalami situasi yang memang memerlukan bantuan tenaga manusia. Jadi, penghormatan itu lebih pada hal spiritual, afeksional, sosial dan bukan material-ekonomis. Dan, yang harus selalu dilestarikan oleh orang Nias adalah budaya, seperti: maena, tarian (tarian baluse, tari moyo, hoho, dst.), fame’e afo, ni’oköli’ö manu, dst. Sangat disayangkan, akhir-akhir ini justru tarian maena semakin hari semakin tidak dikenal lagi oleh generasi muda Nias. Padahal, tarian maena adalah salah satu tarian rakyat Nias yang kalau dilestarikan secara benar menjadi ciri khas dan kebanggaan Nias.
Setiap orangtua pasti bahagia jika anaknya menjadi “orang”. Namun, jika para orangtua Nias belum menyadari bahwa böwö itu sangat membebankan maka saya kurang tahu sampai kapan masyarakat Nias akan menyadari bahwa pola pikir semacam itu justru menenggelamkan orang ke lembah kemiskinan. Pengalaman saya sendiri, kadang-kadang böwö itu diperebutkan antara pihak paman, talifuso, dan juga so’ono (dari pihak saudara dan juga orangtua mempelai perempuan). Ironisnya (masih terjadi) babi-babi yang mereka terima itu dijadikan sebagai modal. Ini komersial bung dan apa bedanya dengan “perdagangan anak”? ini bukan melebih-lebihkan, hal ini sungguh terjadi pada zaman dahulu kala (dan mungkin sampai sekarang, walaupun tidak sebanyak dulu).
Tesis kedua, setiap orangtua yang berpendidikan mencoba menjadi pilar untuk mengubah tradisi Nias yang justru membebankan. Mula-mula para orangtua itu mesti melakukan penyuluhan kepada anaknya dan oleh karena itu juga jangan mereka terapkan böwö yang mahal kepada anak mereka sendiri. Tidak selamanya bahwa budaya itu positif dan manusiawi. Misalnya, budaya orang-orang Eskimo yang menyembelih orangtua mereka jika sudah tua. Menurut masyarakat Eskimo, tindakan mereka ini memiliki nilai yang tinggi: mencoba menyelamatkan orangtua mereka dari penyakit tua yang bisa membawa pada penderitaan. Bahkan tindakan itu adalah salah satu bentuk perwujudan penghormatan kepada orangtua. Budaya Mangayau di Kalimantan (tradisi memenggal kepala orang, dan ternyata hal ini terjadi di Nias pada zaman dahulu). Seperti kita tahu bahwa menghilangkan nyawa orang lain, bertentangan dengan hukum kodrat yang dikenal oleh orang Kristen, terutama dalam gagasan Santo Thomas Aquinas: Hukum kodrat adalah pemberian dari surga, anugrah tertinggi dari Allah yang tidak bisa diciptakan oleh manusia. Manusia lahir dan mati, itu adalah hak Allah.
Tesis ketiga, tokoh agama harus terlibat dalam memberikan penyuluhan kepada masyarakat Nias yang masih menerapkan böwö yang mahal. Sebagai orang Nias, saya berterima kasih (juga salut) kepada Pastor Mathias Kuppens, OSC (misionaris Ordo Sanctae Crucis, berkewarganegaraan Belanda), yang cukup antusias untuk memberikan pemahaman kepada orang Nias (terutama di Kecamatan Sirombu dan Mandrehe) bahwa böwö yang mahal tidak membangun. Beliau adalah salah satu tokoh agama Katolik yang cukup berhasil “menekan” jumlah besarnya böwö dengan cara-cara yang persuasif. Namun, perjuangan beliau bukan tanpa hambatan. Ada beberapa orang Nias yang pernah melontarkan kata-kata pedas, mencoba menentang kebijakan Pastor Mathias, sang pencinta Nias itu. Tetapi Pastor Mathias menanggapi dengan tindakan yang diwarnai kerendahan hati: ia tidak pernah berprasangka negatif (tidak su’udzon) walau ia dicerca. Ini luar biasa!
Tesis keempat, Dinas Pendidikan Kabupaten Nias dan Nias Selatan, seharusnya memikirkan bagaimana jika penyuluhan tentang böwö diajarkan di sekolah sebagai pelajaran “muatan lokal” atau semacam pelajaran “ektra kurikuler”. Menurut saya, böwö dan juga adat Nias yang lain perlu dijelaskan kepada generasi muda agar mereka kelak mengerti dampak ambivelensi adat Nias itu sendiri. Dan oleh karena itu, mereka kelak bisa menegasi hal-hal yang tidak membangun dari adat Nias itu sendiri; sehingga budaya Nias tidak mandeg pada ke-statis-an melainkan berkembang (dinamis). Dan, tugas ini tentu didelegasikan kepada para guru yang mengajar: mulai dari tingkat SD hingga perguruan tinggi.
Semoga!
*Postinus Gulö adalah Mahasiswa Fakultas Filsafat, Universitas Katolik Parahyangan (Unpar), Bandung. Artikel ini (sebelum saya edit) terbit pertama sekali di NiasIsland.Com, 28 December 2006 dan atas izin saya sendiri artikel ini diterbitkan di situs Museum Pusaka Nias, pada tanggal 26 Januari 2007.


*****

Hönö Mböwö No Awai, Ba Hönö Mböwö No Tosai

Thursday, June 5, 2008
By nias
Oleh Setiaman Zebua
Pengantar
Tulisan ini hanya merupakan pandangan pribadi penulis, berdasarkan ingatan serta kenangan penulis juga penuturan orang tua penulis di masa lampau sewaktu penulis masih tinggal di kampung halaman. Tidak ada rujukan literatur yang digunakan sebagai dasar kajian dalam tulisan ini. Tulisan ini tidak bermaksud menyanggah pendapat atau pandangan yang terdapat dalam tulisan lainnya dengan topik-topik terkait yang pernah di muat di Situs Ya’ahowu, maupun situs-situs lainnya. Penulis tidak mengklaim bahwa hal-hal yang diulas dalam tulisan ini adalah sepenuhnya benar. Makna-makna dan penerapan dari berbagai istilah budaya serta tradisi dalam tulisan ini dapat saja keliru atau pun mungkin saja berbeda di berbagai wilayah di Nias. Tulisan ini terbuka terhadap koreksi dan pembetulan dari pihak mana pun demi kesempurnaan pemahaman kita bersama akan budaya kita Ono Niha. Penulis juga berharap bahwa melalui tulisan ini, wawasan mengenai kebudayaan kita sendiri dapat diperkaya.
Kata böwö dalam Bahasa Nias memiliki makna yang luas serta beragam. Adalah benar bahwa kata böwö ketika kata itu berdiri sendiri sebagai sebuah benda konkret dapat berarti sebagai “fa’omasi” atau ”masimasi” [pemberian karena kasih] atau pun “buala” [pemberian; hadiah]. Di bagian akhir dari sebuah urutan tata cara atau jenjang tahapan pernikahan adat di Nias, kita biasanya mendengar ungkapan-ungkapan seperti: “Ha börö mböwömi khöma wa tola alua huhuo andre” [Hanya karena kasih kalian kepada kami, pembicaraan ini dapat terlaksana]. Tidak diragukan lagi bahwa böwö dalam kalimat ini berarti kasih atau kemurahan hati. Dari kata böwö terbentuklah kata sifat oböwö yang berarti murah hati, mudah memberi, atau tidak pelit. Itu sebabnya tidak jarang orang tua di Nias yang menamai anaknya Böwönama dalam artian anak sebagai pemberian dari Bapa di surga.
Kata böwö dapat pula berarti sifat alami atau nature dari sesuatu. Ini dapat kita temui dalam ungkapan yang kerap kita dengar di Nias, yang juga terdapat dalam penggalan lirik lagu berikut:
Ba no moböwö gadulo manu ba khigu,
ba ha ba hele-hele orudu ….
Bila diartikan kurang lebih sebagai berikut:
”Bagaikan telur ayam,
hanya berkumpul di tabung bambu.”
Untuk memahami ungkapan ini perlu diingat bahwa konon orang Nias biasa mengumpulkan dan menyimpan telur ayam di dalam tabung yang mungkin berbentuk seperti pancuran [hele-hele] yang terbuat dari bambu. Ungkapan ini merujuk pada anak-anak dalam keluarga yang secara alami hanya berkumpul sewaktu masih kecil di rumah orang tua, setelah dewasa akan berpencar menjalani kehidupan masing-masing yang dipersamakan dengan telur ayam yang hanya berkumpul sewaktu masih di dalam tabung bambu, namun kelak setelah menetas dan menjadi anak ayam akan berpencar juga. Di pengertian inilah terbentuk kata moböwö dari kata dasar böwö yang mengandung pengertian ”menurut sifat alami.” Juga kata-kata seperti omböwöi atau gomböwöi yang dapat diartikan ”bagaikan” atau ”ibarat.”
Akan tetapi, dalam beberapa kata turunan yang berasal dari kata dasar böwö dapat pula terbentuk kata-kata berkonotasi negatif. Misalnya kata ni’oböwögö dalam kalimat: “Me falukha ndra’aga, ba hulö ha ni’oböwögö manö wa ma’iki ia khöma” yang kurang lebih dapat diartikan: “Sewaktu kami bertemu, tampaknya dia tersenyum kepada kami, hanya karena terpaksa saja alias tidak tulus.”
Pada kalimat di atas terjadi perubahan makna positif dari kata dasar “böwö” setelah diimbuhi dengan awalan berlapis “ni” dan “o” serta akhiran “gö” menjadi sebuah adverbia yang mengindikasikan sesuatu perbuatan dengan cara yang “terpaksa” atau “berat hati.”
Gejala ini juga kita kenal pada kata “buala” bahkan ketika kata itu tidak mendapatkan imbuhan apa pun, seperti dalam kalimat: “Ha buala no udölö” yang artinya “Saya hanya berpura-pura terlihat baik-baik saja.” Di sini kata “buala” tidak lagi berarti sebagai pemberian atau hadiah dengan ketulusan melainkan sebuah cara berpura-pura. Barangkali ini merupakan sebuah gejala unik dari Bahasa Nias.
Untuk memahami makna böwö dalam konteks peradatan Nias khususnya dalam pernikahan, rasanya kita perlu mengarahkan pemikiran kita pada nilai-nilai dan makna filosofis yang terkandung dalam setiap jenjang tata cara serta tujuan pernikahan itu sendiri dalam adat Nias. Perlu diingat bahwa pernikahan antara seorang laki-laki dan seorang wanita juga sebagai sarana untuk menjalin kekerabatan antara dua pihak keluarga yang sebelumnya tidak mempunyai kaitan apa-apa bahkan tidak saling mengenal, yang kemudian melalui pernikahan, kedua keluarga tersebut menjadi kerabat.
Hal ini dapat kita telusuri dari istilah “mamakhai sitenga bö’ö” dan “mamakhai böwö.” Kedua istilah ini memiliki makna yang hampir sama yaitu menjalin kekerabatan, sehingga dari perspektif ini kata böwö mengadung dimensi makna yang lebih luas yakni sebagai sebuah silaturahmi. Namun suatu hal yang unik bahwa dalam kekerabatan atau silaturahmi ini senantiasa disertai dengan kewajiban [lala wo’ömö]. Dengan kata lain, ada kewajiban-kewajiban tertentu yang secara adati melekat [adhered] pada kata böwö dalam pengertian ini. Seluruh pranata serta besaran dari kewajiban-kewajiban ini diatur dan ditetapkan menjadi sebuah konvensi dalam suatu komunitas adat [fabanuasa] Nias melalui sebuah dewan adat yang disebut fondrakö. “Fondrakö zatua” dapat diartikan sebagai ketetapan para tetua adat. Dalam kebudayaan Nias semakin tinggi kedudukan seseorang [bosi niha] dalam strata masyarakat adat Nias maka semakin besar pula kewajiban-kewajiban adatnya, termasuk kewajiban adat dalam pernikahan seorang putri dalam keluarganya.
Bila seorang laki-laki hendak mempersunting seorang gadis, biasanya semua tata cara pernikahan akan mengikuti sistem adat pihak keluarga pengantin perempuan. Semua kewajiban-kewajiban adat dalam proses tersebut ditanggungkan atau dibebankan kepada pihak pengantin laki-laki dalam bentuk “böwö ni’andrö” [böwö yang diminta]. Itu sebabnya kita sering mendengar pertanyaan: “Alai na ebua la’andrö mböwö khöda?” [”Jangan-jangan mereka akan meninta”böwö” yang besar dari kita?”] atau “Ha’uga la’andrö mböwö? [Berapa banyak mereka meminta ”böwö”?].
Berdasarkan kerangka pengertian ini, kemudian böwö dapat berarti sebagai ”seserahan” yang besarannya disesuaikan dengan kedudukan atau status keluarga pengantin perempuan dalam strata masyarakat adat. Dewasa ini, tampak mulai terjadi pergeseran penilaian kedudukan keluarga dalam menentukan besaran böwö yang diminta dari pihak pengantin laki-laki. Besaran ini sudah tidak lagi ditentukan oleh kedudukan seseorang [bosi niha] dalam strata masyarakat adat Nias yang konon kedudukan ini diperoleh berdasarkan besarnya pengorbanan serta seberapa seringnya melakukan pesta-pesta adat [owasa], namun lebih banyak dipengaruhi oleh status sosial ekonomi keluarga pengantin perempuan. Adalah merupakan pemandangan yang lazim ketika seorang ayah yang berstatus pejabat atau pun mempunyai seorang gadis yang berpendidikan ”tinggi” atau seorang pegawai negeri akan meminta böwö yang lebih banyak.
Setelah sampai pada tahapan ini maka böwö kemudian dapat diukur menurut nilai secara ekonomi atau jumlah nominal, yang dapat mencapai puluhan juta rupiah atau lebih serta boleh dikatakan sangat mahal. Dalam kondisi ini terjadi tumpang tindih [overlapping] makna sesungguhnya antara böwö dalam pernikahan adat Nias dengan seserahan, mahar, atau mas kawin, atau apa pun istilahnya seperti yang terdapat dalam kebudayaan lainnya. Keadaan inilah yang mengarahkan pemahaman orang-orang bahwa böwö seolah-olah bermakna sebagai sebuah harga yang dibayarkan atas seorang putri atau gadis Nias.
Dalam pernikahan adat Nias, sebagian dari böwö tersebut dalam artian sebagai ”seserahan” yang berupa uang, emas, ternak babi, beras, dan lain-lain, digunakan untuk menjamu para tamu, juga dipersembahkan kembali kepada pihak laki-laki dalam bentuk suguhan yang memiliki nilai penghargaan serta penghormatan [lala wasumangeta] pada setiap jenjang acara adat pernikahan. Pada acara pesta pernikahan kita mengenal istilah so’i mböwö. Ini adalah suguhan berupa daging dan rahang babi yang telah dimasak dan disajikan sedemikian rupa kepada pihak tamu [tome] yang tidak lain adalah pihak keluarga laki-laki itu sendiri dan juga sajian serupa kepada pihak uwu atau pihak keluarga dari ibu pengantin perempuan, atau mungkin juga kepada pihak-pihak lainnya sebagai sebuah simbol penghargaan dan penghormatan dalam budaya Nias. Sebagian lagi dikembalikan dalam bentuk barang-barang atau gamagama berupa perhiasan dan barang-barang lainnya yang disertakan kepada pengantin perempuan ketika pengantin perempuan dibawa pulang dari rumahnya menuju rumah pengantin laki-laki setelah selesai acara pesta pernikahan [falöwa]. Jadi, di sini dapat kita lihat bahwa sebenarnya terdapat nilai-nilai saling menghargai dan saling memberi di balik semua tata cara serta pengelolaan böwö dalam adat Nias.
Pada bagian akhir sebuah pesta pernikahan adat Nias di bagian ngona mböwö [semacam kata-kata penutup atau kata-kata perpisahan], terdapat kalimat yang mengatakan: “Hönö mböwö no awai, ba hönö mböwö no tosai.” Artinya, beribu-ribu böwö telah selesai, beribu-ribu “böwö” masih tersisa. Dalam ungkapan ini agaknya sulit untuk mendefinisikan kata böwö secara sederhana. Di sini makna kata böwö menjadi lebih luas serta dapat berarti seluruh proses dan tata cara pernikahan adat beserta seluruh kewajiban dan seserahannya, dan juga sebuah ”hubungan kekerabatan keluarga berkelanjutan” yang telah terjalin melalui proses pernikahan tersebut. Itulah ribuan böwö yang dikatakan masih tersisa.
Seorang laki-laki yang menikahi seorang perempuan memiliki beberapa kewajiban [fo’ömö] adat tertentu kepada pihak keluarga mertuanya [fala’osa] baik ketika pihak mertua mengalami hal-hal sukacita [lala wa’omuso dödö] misalnya menikahkan anak, khususnya anak laki-laki, maupun ketika mengalami hal-hal dukacita [lala wa’abu dödö] misalnya kematian. Ini akan berlanjut hingga generasi berikutnya. Mereka disebut sebagai pihak ono mbene’ö atau ono alawe yang nota bene wajib menjunjung tinggi pihak paman [sibaya atau uwu] melalui segala tata krama maupun kewajiban adat. Saat pernikahan anak perempuan biasanya pihak ono alawe hanya berkewajiban untuk membantu dalam bentuk pekerjaan-pekerjaan fisik selama persiapan hingga selesai acara tersebut.
Pada acara famuli nukha dan fanörö ni’owalu yang biasanya dilakukan beberapa waktu setelah pesta pernikahan, ada tradisi di mana pihak mertua mengoleh-olehi anak dan menantunya ini dengan berbagai bibit tanaman mau pun ternak, serta alat-alat bertani. Ini biasanya berupa anak babi, ayam, bibit padi, parang, dll. Tujuan pemberian ini adalah agar mereka memiliki ”modal awal” atau “pangkal” untuk bercocok tanam dan beternak (mangahalö ba danö ba mo’urifö) sehingga kelak mereka tidak mempunyai alasan untuk tidak memenuhi kewajiban-kewajiban mereka terhadap pihak keluarga mertua bila terjadi hal-hal sukacita maupun dukacita seperti disebutkan di atas.
Juga kelak setelah anak-anak hadir dalam keluarga pengantin ini, sewaktu mereka pergi bertandang secara formal ke rumah paman atau sibaya, mereka biasanya molöwö atau membawa makanan berupa nasi dan daging babi yang dimasak [direbus] serta ditata sedemikian rupa dan dibungkus dengan daun pisang atau pun pelepah pinang. Pada kesempatan ini pihak paman biasanya mengoleh-olehi keponakan mereka dengan ayam atau pun anak babi. Salah satu acara resmi seperti ini adalah fangandrö bowoa.
Meskipun lebih banyak bersifat kewajiban, namun dalam semua tatanan peradatan ini terkandung nilai dan makna saling tolong-menolong. Perlu kita perhatikan bahwa pada saat terjadi hal-hal sukacita maupun hal-hal dukacita seperti disebutkan di atas dalam budaya Nias, ada kewajiban-kewajiban adat yang harus ditunaikan, yang kemungkinan lebih sering tidak dapat dilakukan sendiri tanpa bantuan orang lain. Itulah sebabnya maka pihak ono alawe dibebani dengan kewajiban [lala wo’ömö] ketika hal-hal ini terjadi. Namun lebih dari itu menurut pendapat penulis, di balik itu terdapat nilai-nilai luhur berupa kerja sama, kegotongroyongan, serta tolong menolong. Di sinilah letak sesungguhnya dari makna atau falsafah saling memberi dan tolong-menolong dari sebuah hubungan kekerabatan berkelanjutan seperti yang terdapat dalam ungkapan: ”Hönö mböwö no awai, ba hönö mböwö no tosai.
Böwö, bila hanya dilihat dalam makna sebagai sebuah bentuk seserahan atau mahar hanya akan menuntun kita pada nilai materialistis serta pada dampak ironis yang terkait dengannya. Böwö tidaklah semata-mata merupakan harga yang dibayarkan, yang dapat dinilai secara nominal atas seorang gadis atau putri Nias. Namun jauh lebih agung dan lebih sempurna daripada itu, böwö mengandung makna ungkapan kasih, penghormatan, silaturahmi, kekerabatan, serta merupakan sebuah warisan nilai budaya yang luhur, unik, serta tak ternilai. Semoga kesadaran kita tergugah untuk menempatkan böwö dalam kerangka budaya yang luhur serta pada akhirnya akan mengangkat harkat dan martabat kita Ono Niha. “Hönö mböwö no awai, ba hönö mböwö no tosai.”
Ya’ahowu.

*****

Pemerintahan Asli Suku Nias (III)

Wednesday, August 19, 2009
By nias
e. Selanjutnya, ere wondrakõ menghampiri Siraha Lato, sambil mengarahkan telapak tangannya di atas benda-benda ritus (lidi, mayang kelapa, ayam, anjing dan kapak) yang berada pada siraha lato mengucapkan mantera-mantera antara lain:
Noso zanawõ fondrakõ, sumange zanawõ oroisa,
ya mõi lifilifi wondrakõ, ya mõi lifilifi goroisa
ya ondria mane nibõzi likhe, ya mondria mane sõfu latowa;
ba dõla zanawõ fondrakõ, ba dõla zilalõi oroisa
Aoha gõlõ nuwu wo’ere, aoha gõlõ nuwu mbesoa;
d.s.t.
Selanjutnya ere wondrakõ mengambil lidi yang 9 batang, mematah-matahkannya, di atas unggun api diho yang sedang menyala, meremas-remas lidi itu sambil membaca mantera-mantera lifi-lifi (kutukan) wondrakõ, yang berbunyi:
Ya’e wamaedo zanawõ fondrakõ, ya’e wamaedo zanawõ oroisa”, (ini contoh pelanggar, ini contoh pelanggar perintah – red.)
lantas lidi yang diremas-remas itu dicampakkan kedalam unggun api.
Lidi itu sebentar saja telah hangus dilalap api.
Demikianlah selanjutnya, mayang kelapa yang masih kuncup dibuang bulat – bulat ke dalam unggun api sambil mengumpamakan mayang itu badan orang yang melanggar fondrakõ; dan sebentar saja mayang itu meledak dan isinya bertaburan ke dalam api.
Selanjutnya, sebungkal timah dilebur sampai cair dan langsung dituangkan ke dalam kerongkongan ayam melalui paruhnya sambil memutar dan mematahkan leher, sayap dan kakinya lalu dibuang ke dalam api unggun sambil membacakan mantera-mantera kutuk yang mengumpamakan ayam itu sebagai diri orang yang melanggar fondrakõ.
Kemudian anjing, yang sudah dipersiapkan, kakinya diikat dan langsung dibuang hidup-hidup ke dalam api unggun, sambil membacakan mantera dan mengumpamakan bahwa anjing yang dibakar hidup-hidup itu, sebagai orang yang melanggar fondrakõ.
Terakhir, kapak tadi ditanamkan ke batang kelapa. Sebuah godam yang dibuat dari kayu manawa (alaban), sambil membcakan mantera-mantera, martel kayu (godam)- bagowahõ sezai laoyo matua – dihantamkan pada punggung kapak itu secara bergantian oleh seluruh tua-tua adat yang hadir di tempat itu, sampai akhimya kapak tadi terbenam ke dalam batang kelapa atau batang kayu itu, yang menggambarkan kematian tanpa kubur orang yang melanggar fondrakõ.
f. Setelah semuanya itu selesai, ere wondrakõ menuangkan air dingin pada figa lame yang berisi hamo-hamo gana’a; air ini disiramkan pada ukuran timbangan takaran dan terakhir disiramkan / dituangkan pada kaki Golu Wondrakõ. Selanjutnya sisa air dingin tawar itu, disiramkan kepada khalayak ramai yang hadir, sambil mengucapkan mantera mantera pemberkatan agar semua warga menaati hukum-hukum yang tertera di dalam fondrakõ itu.
Sumber: Buku Sejarah Perjuangan Masyarakat Nias (1987)

*****

Triangulasi dalam Kisah Awuwukha

Wednesday, June 11, 2008
By Moyo
Oleh Victor Zebua
Kisah Awuwukha yang dipublikasi Jajang A. Sonjaya (Ama Robi Hia), baik di buku “Melacak Batu Menguak Mitos Petualangan Antarbudaya di Nias” maupun di tulisan lepas “Orang Nias – Mereka Memburu Kepala Untuk Bekal Kubur”, mendapat respon di artikel “Kisah Awuwuka Pemburu Kepala” yang ditulis Victor Zebua di situs ini. Keduanya, Sonjaya dan Zebua, sejatinya sama-sama melihat hal yang sama bahwa boleh jadi kisah Awuwukha itu mengalami distorsi.
Untuk meningkatkan validitas kisah Awuwukha, saya menyarankan daya triangulasi perlu optimal digarap. Menanggapi saran itu, di ruang komentar Sonjaya menulis “Dalam penelitia semacam ini tidak perlu menggunakan triangulasi karena yang dicari buka kebenaran melainkan pemahaman pribadi saya pada apa yang saya amati.” [sic].
Bila pengamatan (penelitian) dimaksudkan untuk kekayaan intelektual pribadi, tentu hasilnya tidak perlu diwacanakan. Namun, karena ‘pemahaman pribadi seorang peneliti pada apa yang diamatinya’ itu dipublikasi, kemudian menjadi kekayaan intelektual untuk konsumsi publik, maka wajar bila mendapat respon orang lain. Aspek ini diulas E. Halawa* di artikel “Batu Yang Enggan Bercerita – Catatan Ringan Untuk Ama Robi Hia” di situs ini.
Dua buku yang menjadi rujukan dalam saran saya, karya M.G.Th. Thomsen dan Bambowo Laiya, tertulis dalam daftar referensi buku “Melacak Batu Menguak Mitos Petualangan Antarbudaya di Nias” karya Sonjaya. Karena beliau merujuk buku tersebut, saya mengira beliau melakukan triangulasi, namun triangulasi itu ‘belum optimal digarap’. Frase ‘belum optimal digarap’ inilah yang merupakan substansi dari saran saya, bukan tentang ‘perlu-tidaknya triangulasi’.
Ternyata Sonjaya mengaku tidak memerlukan triangulasi. Bila demikian adanya, apa fungsi buku Thomsen dan Laiya dalam daftar referensi buku beliau? Jawabannya tentu ada pada sang pembuat daftar referensi. Saya justru melihat kedua buku itu memiliki nilai strategis sebagai pemicu triangulasi dalam penelitian Sonjaya di Sifalagö Gomo.
Triangulasi Lima Generasi
Dalam publikasi Sonjaya disebutkan masa hidup Awuwukha ‘lima generasi yang silam’. Sumber data ini adalah ingatan informan. Saya menyarankan data tersebut dikonfirmasi pada sura nga’ötö (silsilah keluarga), karena menurut penelitian Thomsen masa hidup Awuwukha adalah ‘tujuh generasi yang silam’ [buku “Famareso Ngawalö Huku Föna Awö Gowe Nifasindro (Megalithkultur) ba Danö Nias”].
Wacana yang muncul bukanlah sekedar kebenaran dari angka 5 atau 7 (lima atau tujuh generasi yang silam) itu. Justru perbedaan angka itu merupakan sebuah ‘batu uji’ validitas kisah Awuwukha versi informan dalam rangka menuntun upaya sang peneliti memahami masyarakat Nias di kawasan Gomo. Bila sebagai peneliti Sonjaya mengacu data masa hidup Awuwukha ‘lima generasi yang silam’, bagaimana beliau mendeskripsikan realitas sosial masyarakat Nias di Sifalagö Gomo pada saat itu?
Hanya berselisih satu generasi, yaitu empat generasi yang silam, masyarakat Sifalagö Gomo menciptakan legenda Tödö Hia. Pendukung legenda ini adalah masyarakat beragama modern (lihat artikel “Tödö Hia Walangi Adu” di situs ini). Perbedaan yang hanya satu generasi mengindikasikan kurun waktu kehidupan yang relatif sama. Bila demikian, realitas sosial pada saat itu adalah masyarakat pemburu kepala (dalam kisah Awuwukha) dan masyarakat beragama modern (pendukung legenda Tödö Hia). Dua bentuk masyarakat tersebut hidup berdampingan atau bercampur. Masyarakat campuran seperti ini, bila pernah ada di Sifalagö Gomo, belum mendapat perhatian dalam publikasi Sonjaya.
Karena Sonjaya memilih data masa hidup Awuwukha ‘lima generasi yang silam’, fokus penelitian beliau terarah pada masyarakat campuran di Sifalagö Gomo. Namun hal ini bisa dihindari bila dilakukan triangulasi terhadap data versi informan. Boleh jadi masyarakat campuran itu tak pernah ada. Inilah arti penting data versi Thomsen. Data itu berfungsi sebagai pembanding, sekaligus pemicu inspirasi dan kreativitas sang peneliti, untuk secara mandiri mencari sumber lain yang relevan dan relatif handal, misalnya sura nga’ötö, ketimbang ingatan informan.
Triangulasi Tujuh Generasi
Selanjutnya, bila mengacu Thomsen bahwa Awuwukha hidup ‘tujuh generasi yang silam’, analisis isi kisah Awuwukha kian menarik. Pada saat itu masyarakat di Sifalagö Gomo belum beragama modern. Apakah Awuwukha menganut kepercayaan tradisional molohé adu? Bisa dijawab ‘ya’ bila sebelum beragama modern, masyarakat Nias dipahami sebagai pemuja roh yang bersemayam dalam patung. Namun bisa pula dijawab sebaliknya.
Menurut Sonjaya, binu untuk menyiapkan minum, membuat sirih pinang, meladeni makanan, menjaga, dan menjadi tukang pijat Awuwukha di alam baka. Hal ini sesuai pandangan eskatologis penganut molohé adu bahwa ‘kehidupan’ di alam baka identik dengan kehidupan di alam fana. Oleh karena itu di alam baka Awuwukha memerlukan fasilitas yang dipunyainya seperti saat dia hidup di alam fana. Binu berfungsi sebagai ‘bekal kubur’ Awuwukha. Sampai di sini diketahui, para informan Sonjaya menceritakan kisah Awuwukha dari sudut pandang (point of view) penganut molohé adu.
Keadaan menjadi kontradiktif ketika diceritakan pula bahwa ‘pada waktu-waktu tertentu, misalnya ketika hendak menyelenggarakan pesta adat, tengkorak si tokoh itu (Awuwukha) disembah’. Isi cerita di bagian ini tidak sesuai dengan tradisi molohé adu. Para penganut molohé adu tidak menyembah tengkorak orang tua, melainkan menyembah adu zatua (patung orang tua). Oleh karena itu, anggapan bahwa Awuwukha menganut kepercayaan tradisional molohé adu menjadi goyah. Boleh jadi Awuwukha bukan penganut molohé adu.
Dalam buku “Solidaritas Kekeluargaan Dalam Salah Satu Masyarakat Desa di Nias – Indonesia” Laiya mengungkapkan upacara famaoso döla (pengangkatan tulang-tulang kembali). Upacara ini pernah hidup di kawasan tengah dan selatan Nias. Masyarakat pendukung upacara famaoso döla berharap orang mati akan bangkit atau lahir kembali. Hal ini berbeda dengan kepercayaan penganut molohé adu. Penganut molohé adu berpikir, roh orang mati tetap hadir di tengah-tengah kehidupan orang hidup. Bila kisah Awuwukha dijelaskan lewat sudut pandang masyarakat pendukung upacara famaoso döla, tentu motif Awuwukha meminta binu bukanlah ‘bekal kubur’, melainkan ‘ingin dilahirkan kembali ke alam fana’.
Kisah Awuwukha ternyata dapat dijelaskan lewat dua sudut pandang, yaitu sudut pandang masyarakat penganut molohé adu dan sudut pandang masyarakat pendukung upacara famaoso döla. Keduanya digabung dalam kisah Awuwukha oleh para informan Sonjaya. Hal ini mengindikasikan ada dua bentuk masyarakat di Sifalagö Gomo tujuh generasi yang silam. Mereka hidup berdampingan dan bercampur. Masyarakat campuran seperti ini, bila pernah ada di Sifalagö Gomo, barangkali tak terlintas dalam pemikiran seorang peneliti bila dia mengabaikan daya triangulasi dalam penelitiannya.
Masyarakat Pendukung
Dari uraian di atas dapat diketahui, di balik teks kisah Awuwukha terkandung cerita tentang tiga bentuk masyarakat yang kemungkinan besar pernah hidup di Sifalagö Gomo. Ketiga bentuk masyarakat itu adalah: masyarakat beragama modern (pendukung legenda Tödö Hia), masyarakat penganut molohé adu (pemuja adu zatua), dan masyarakat pemburu kepala (pendukung upacara famaoso döla).
Berasal dari masyarakat manakah Awuwukha? Inilah pertanyaan yang seyogianya dicari jawabannya secara cermat oleh peneliti yang ingin mencapai pemahaman yang lebih dalam dan luas tentang Nias. Artinya, ‘inilah realitas sosial yang perlu ditangkap oleh seorang peneliti kualitatif di Sifalagö Gomo’. Tingkat kesulitan penelitian mungkin akan menjadi relatif tinggi, karena realitas sosial yang hendak diteliti bukan ‘potong lintang’ (sedang terjadi) melainkan retrospektif.
Beberapa peneliti boleh jadi enggan bersusah-payah menjelajahi dan mengkaji ‘arkeologi’ sesuatu masyarakat yang ditelitinya. Bila data etnografis berhasil diperoleh, sudah dirasa memadai. Kemudian sang peneliti melakukan kegiatan penafsiran dan menarik kesimpulan atas data-data tersebut. Pola kerja seperti ini mengabaikan aspek dinamika dan transformasi masyarakat pada suatu zaman maupun dari zaman ke zaman. Sering terlupakan bahwa data etnografis senantiasa berhubungan dengan konteks masyarakat pendukungnya. (*)

1 komentar:

  1. Best casino bonus codes 2021 | Free spins no deposit
    Find a list of the casino bonus codes and promotions for United Kingdom players. Discover bonus codes ventureberg.com/ for casinos with free novcasino spins no deposit on worrione registration.‎How many free filmfileeurope.com spins do you receive septcasino from the casino? · ‎What are the bonuses for United Kingdom players? · ‎What are the free spins and promotions for United Kingdom players?

    BalasHapus